Kamis, 13 Januari 2011

BIARKAN TEGURAN ITU DATANG

Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”

Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyaknya masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu”. Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.
Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah…

Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal yang mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan. Al Qur’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabbah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahn. Metode muhasabah dan eguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahn kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, ”Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “ Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad,387)

Perhatikanlah bagaimana para sahabat ra dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertakan dan sulit. Ketika itu turun firman Allah swt,” Sesungguhnya orang-orang yang berpaling diantara kaian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka…”(Q.S Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaiman Allah swt menegur langsung lewat firmanNya surat Ali Imran 165. “… kalian berkata: ”Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “ Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.”…Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepada kaian sedikitpun…” (Q.S At Taubah: 25)
Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bias menjadikan seseorang mampumengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.

Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Liman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bias disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zariyat rahimahullah. Ia mengatakan, “ Demi allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93).

Camkan nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shahidul Khatir,”Ketahuilah, ujian paling besar bagi sesorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilahan yang baik. Dan, diantara efek hukuman ini adalah sesorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shahidul Khatir). Naudzubillahi mindzalik..

Ditulis kembali dari Nasihat Ruhani , Tarbawi Edisi 135 Th 8/ Jumadil Akhir 1427 H/ 20 Juli 2006 M