Rabu, 17 November 2010

Hampir Berakhir ....


Hampir berakhir masa-masa di kampus hijauku ini…

Hampir berakhir statusku sebagai mahasiswa

Hampir berakhir kesibukanku di kampus ini

Hampir berakhir kebersamaanku dengan orang-orang terbaik di kampus ini

Hampir berakhir amanahku di kampus ini

Hampir berakhir…tinggal menghitung waktu…


Bergegaslah kawan, sambut masa depan

Tetap berpegang tangan saling berpelukan

Berikan senyuman sebuah perpisahan…

Kenanglah sahabat, kita untuk slamanya…


Doakan aku istiqomah dan khusnul khotimah…

Semoga kita bisa berjumpa di jannahNya kelak.

Kalau boleh lebay, episode terindah dalam rangkaian hidupku aku temukan di kampus yang Allah jadikan jalan terbaik bagiku.

IPB, baru terasa cintanya ketika hampir berakhir.

Rabu, 27 Oktober 2010

Sulit, Mudah, RidhoNya

Satu waktu, sudah lama sekali

Seseorang berkata dengan wajah sendu

“Alangkah beratnya…alangkah banyak rintangan…

Alangkah berbilang sandungan…alangkah rumitnya.”

Aku bertanya,”lalu?”


Dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk

“Apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”

“Aanya karena itu kau menyerah kawan?”

Aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup

Menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dilaminya

“Yah…bagaimana lagi? Tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa Allah tak meridhoinya?”


Aku membersamainya menghela napas panjang

Lalu bertanya, “andai Muhammad, Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam

Berpikir sebagaimana engkau menalar, kan adakah Isam di muka bumi?

“Maksudmu?”, ia terbelalak

“Ya, andai Muhammad berpikir bahwa banyak kesulitan

Berarti tak diridhoi Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?”

Ada banyak titik sepertimu saat ini, saat Muhammad

Bisa mepertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar

Mungkin saat dalam rukuknya ia dijerat di bagian leher

Mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta

Mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu

Mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan ukang sihir

Mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib

Mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata

Atau saat paman terkasih dan istri tersayang berpulang

Atau justru saat dunia ditawarkan kepadanya, tahta, harta, wanita…”

“Jika muhammmad berpikir sebagaimana engkau menalar

Tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?


Tapi Muhammad tahu, kawan

Ridho Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya

Berat atau ringannya, bahagia atau deritanya

Senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya”

“Ridho Allah terletak pada

Apakah kita mentaatiNya

Dalam menghadapi semua itu

Apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya

Dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan”

“Maka selama di situ engkau berjalan

Bersemangatlah kawan…”


(karya Salim A. Fillah Dalam Dekapan Ukhuwah)


Ujian yang Allah berikan kepada kita (manusia yang hidup di zaman ini) belum lah ada apa2nya dibandingkan ujian para nabi, rasul dan sahabatnya....jadi tidak lah ada kata menyerah dan putus asa...berikhtiarlah terus...Allah melihat proses, dan maniznya buah kesabaran akan kita rasakan kelak...pada saat yang telah Allah gariskan kepada kita. "aku tidak tahu apakah ini musibah atau kah nikmat? yang bisa kulakukan adalah berbaik sangka...dan terus berikhtiar dengan niat yang ikhlas..."

Smangat kawan2....!!!!

Ihris....!!!

Selasa, 19 Oktober 2010

Jadi Tau… Darimana Asal Kata Narsis Itu???

Dari sebuah buku bercover hitam yang ditulis Salim A. Fillah berjudul “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Di halaman 8 ada sebuah kisah tentang seorang bernama Narcissus, saya kutip ceritanya:

Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di air telaga. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit putihnya.

Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki.

Maka di tepi telaga itu dia selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebut kembang itu, narcissus.

Selesai.

Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa kau menangis?”, tanya para peri.
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus”, katanya.
“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”
”Oh, indahkah Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahuinya lebih daripadamu?”, kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus”, kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”

***

Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.

Nasis biar Eksiz...

Itulah sebenarnya hakikat orang narsis…mirip seperti Narcissus, yang mencintai dirinya sendiri, ingin terlihat sempurna dalam pandangan orang lain dan terlalu membanggakan diri sendiri. Dan setiap orang berpeluang menjadi narcissus dan telaganya itu.

Selasa, 28 September 2010

Puding Santan Gula Merah


Hmmm...daripaa stres...mending kita bikin kreasi makanan, gak susah-susah murah dan meriah n gampang dibuat...yuk...yuk...mari!!!

Bahan :

  • 200 gr gula merah
  • 50 gr gula pasir
  • 200 cc air
  • 1 1/4 bks agar-agar
  • 10 lbr daun jeruk
  • 2 butir telur
  • 500 cc santan kental dari 1 butir kelapa
  • 1/4 sendok teh garam

Cara Membuat :

  1. Rebus gula merah, gula pasir, daun jeruk dengan 200 cc air sampai mendidih dan gula larut.
  2. Rebus agar-agar dengan santan kental, beri garam sambil diaduk-aduk sampai mendidih. Tuang air gula ke dalam agar-agar yang telah dimasak, didihkan kembali sambil diaduk.
  3. Kocok telur, tuangkan dalam agar-agar yang masih panas sambil dikocok sampai tercampur rata.
  4. Tuangkan ke dalam cetakan puding yang telah dibasahi dengan air matang, dinginkan.