Rabu, 07 Desember 2011

Rumput Samping Selokan


Introduction: kisah ini dikirim (7/12/2011) via YM oleh Pak Nur Wahid (Kabid Sertifikasi dan Pembinaan LPPOM Provinsi) yang sedang audit ke New Zealand, beberapa jam setelah bapaknya tahu saya habis berobat di PMI (dikiranya sakit karena banyak pikiran mau ke china, hehe padahal sih gak juga kok pak...) Terima kasih pak, sangat menginspirasi :)

Di depan rumah saya terdapat selokan yang mengalir air comberan. Selokan itu sangat penting untuk mengalirkan air dari rumah tangga menuju sungai Lembur Asem di dekat komplek perumahan. Saya selalu membersihkan selokan itu, karena kalau mampet sedikit saja akan menimbulkan masalah, air tergenang, bahkan banjir.

Ada sedikit cerita tentang rumput yang tumbuh subur di sisi samping selokan itu. Setiap kali dibersihkan, setiap kali pula ia tumbuh lagi. Rata-rata setiap dua minggu rumput itu sudah tumbuh setinggi 5 cm. Jika lupa atau tidak sempat, maka rumput yang tumbuh dari balik batu fondasi itu sudah menutupi selokan, sehingga menghambat arus air yang lewat.

Seorang teman memberikan tips untuk menahan agar rumput tidak tumbuh lagi, yaitu dengan menyiramkan oli bekas di tempat tumbuhnya. Saya sudah coba, tetapi hanya bertahan beberapa minggu saja. Mungkin oli bekas itu sudah kebawa arus air selokan, sehingga sebentar kemudian sudah tumbuh lagi.

Pernah juga sisi selokan itu saya tutup pakai adukan semen agar menutup celah-celah batu yang ditumbuhi rumput. Tapi dari bekas retakan dan lobang-lobang yang digerus oleh arus air, tersembul kembali pucuk-pucuk rumput yang ‘indah’ berwarna hijau muda.

Bandel juga tuh rumput! batinku. Tapi sambil nyabuti rumput (entah udah generasi yang ke berapa) aku memikirkan betapa gigihnya makhluk Allah ini. Dia memiliki semangat hidup (spirit of life) yang luar biasa. Diperlakukan seperti apapun juga, dibasmi bagaimanapun juga, ia tetap mencoba bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak. Ketika ditutup semen, ia mencoba tumbuh dari balik retakan-retakan semen, kemudian berkembang terus hingga akhirnya semen yang keras dan kuat itupun kalah oleh kelembutan rumput nan gigih itu.

Dia selalu keluar dari kesulitan yang dihadapi untuk mempertahankan eksistensinya. Dia selalu pecahkan masalah yang ada di depannya dengan kesabaran dan kegigihannya. Dia akan bertahan sebentar utk tidak muncul ketika ada oli bekas, namun akan segera tumbuh lagi begitu situasinya memungkinkan baginya.

Sambil mencabuti akar dan batang rumput, aku terus berfikir dan merasa malu dengan kegigihan tanaman yang sering disia-siakan orang itu. Aku yang dikaruniai segala kelebihan dan keunggulan dibandingkan rumput, ternyata kadang lebih lemah darinya. Aku sering merasa lemah, tidak bersemangat dan malas menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Kesulitan dan hambatan itu seolah datang bertubi-tubi dan membuatku tidak berdaya menghadapinya.

Menghadapi hujan saja aku sering mengeluh dan membuatku batal melaksanakan tugas dan amanah yang aku emban. Menghadapi terik matahari juga menyebabkan aku mengeluh dan berkata “Kenapa sih hari ini panas sekali?” sambil melampiaskan kekesalan dan mengurangi semangatku. Apalagi jika ada tugas menumpuk, kesulitan, masalah, tidak ada bahan, kurang uang, anak sakit, jalan macet, …

Semua itu seolah menjadi bahan bakar yang dapat saya jadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab yang saya emban. Seolah saya mendapatkan pembenaran terhadap penundaan tugas saya dengan alasan-alasan tadi.

Saya malu dengan rumput yang kucabuti. Dia tidak pernah mengeluh (atau tepatnya aku tidak pernah mendengar keluhannya). Dia hanya menjalani kehidupannya dan bertahan hidup di lingkungannya. Dia selalu sibuk mencari jalan keluar, sementara saya selalu sibuk mencari alasan. Dia akan tetap menyembul dan tumbuh meskipun dihambat dengan batu dan adukan semen, sementara saya senang dengan mati listrik untuk dijadikan alasan tidak selesainya tugas yang diemban sambil teriak “Asyiiiikkkk mati listrik!!!” Batang rumput itu sampai berkelok-kelok mengikuti celah-celah batu yang masih dapat dilalui, sementara aku masih sering menyerah ketika harus menghadapi kemacetan di Jakarta.

Akhirnya selesai juga aku mencabuti rumput dan selokan depan rumahku kembali bersih. Tapi dua atau tiga minggu lagi aku harus siap-siap turun ke selokan lagi untuk menyambut tunas-tunas baru yang tumbuh kembali. Sebagaimana aku pun juga memiliki semangat baru untuk tidak kalah dengan rumput itu, untuk selalu sibuk mencari jalan keluar, bukan sibuk mencari alasan. Terima kasih rumput ….