Senin, 23 Januari 2012

Sho' dan Dho'

Namanya Jeri Wijaya, biasa dipanggil Jeri. Kelas 3 SD Sindangsari Bogor. Mengajinya masih iqro’ 1. Tapi anak yang satu ini termasuk dalam perhatianku, alasannya apa sodara-sodara: Jeri anak yang rajin datang mengaji, penurut, dan sopan. Dan mungkin karena seringnya dia menyetorkan bacaan iqro’nya ke aku, akupun jadi dekat dengannya. Sore itu seperti biasa, Jeri menyetorkan bacaan iqro’nya kepadaku. Sudah masuk huruf Dho’. Sebelumnya untuk membaca huruf Sho’ dia tidak mengalami kesulitan karena baru mengenal bentuknya. Nah yang sekarang huruf sho’ nya dikasih satu titik di atasnya menjadi dho’ dia sedikit kesulitan. Kesulitan untuk membedakan karena terbukti sering tertukar atau lupa. Aku bisa maklum karena mungkin belum terbiasa, sehingga aku merekomendasikan untuk diulang minggu depannya.

Sore minggu depannya, Jeri masih setia menyetorkan bacaan iqro’nya kepadaku (padahal ga bawa2 magnet lho? Hehe). Sore itu ulangan huruf dho’ minggu lalu, menurutku lumayan dan bisa dilanjutkan minggu depannya ke huruf tho’. Aku pun memberi penilaian “lancar’ di kartu ngajinya. Dia pun terlihat senang karena disamping penilaian “lancar” sengaja aku beri tanda senyum biar tambah semangat lagi ditambah senyum langsung dari bu gurunya ini (xixixi...).

Sore minggu depannya lagi, masih di channel kesayangan anda ini, lho lho salah...maksudnya Jeri kembali menyetor bacaannya ke aku lagi aku lagi (hehe) dan sore ini masuk ke huruf Dzo’. Awalnya dia lancar melafadzkan Dzo’, namun di tengah-tengah, bacaannya mulai rancu dengan sho’, dho’, tho’, dan dzo’ sendiri. “Kacau” dalam hatiku. Tapi aku masih dengan sabar menuntun dia menyelesaikan bacaannya. Jeri sadar kalau bacaannya kurang lancar, dan aku pun memberi “bonus” untuk Jeri.

Aku: “Jeri, ibu kasih PR ya di rumah, bikin huruf sho' dan dho’ di kertas A4 dan nanti diwarnai juga biar bagus”

Waktu itu Jeri hanya angguk-angguk kepala, dan aku pun membancanya sebagai kata mengerti dan akan melaksanakannya.

Minggu depannya pun datang, namun Jeri tidak datang. “tumben” pikirku dalam hati, jeri anak yang rajin dan penurut itu tidak datang, kata teman-temannya sih main sepeda. Okelah ga papa untuk hari ini.

Minggu depannya lagi, ternyata Jeri tidak datang lagi... aku pun mulai khawatir dan merasa telah membuat dia jadi enggan datang ngaji. Dan sampai genap sebulan Jeri tidak hadir ngaji. Di minggu keempat ketidakhadiran Jeri ini, aku sengaja mengambil jalan pulang lewat depan rumahnya. Dan benarlah firasatku, Jeri ada di rumah. Masih dengan perilaku baik, menyapaku dan menyalami tanganku (berasa jadi bu guru beneran), aku pun menyapa dan bertanya kabarnya

Aku: “Jeri kemana aja? Kok udah lama ga ngaji?”

Jeri: lama terdiam... dan akhirnya terlontarlah kalimat ini: “PR nya susah bu.. aku ga bisa” (Jederrr bagai kesetrum di siang hari...) ternyata benar pikiranku kalau Jeri merasa kesulitan dengan PRnya sehingga membuatnya enggan pergi mengaji lagi. Aku pun jadi merasa bersalah.

Aku: “ PRnya ga usah dikerjakan, nanti ibu bantu gambar huruf sho’ dan dho’, tapi Jeri janji minggu depan datang ngaji ya...?”

Jeri: mengangguk. Aku pun lega.

Ternyata selama ini PR membuat huruf sho’ dan dho’ menjadi beban pikirannya. Mungkin di rumah tidak ada yang membantunya menyelasaikan PRnya ini sehingga dia merasa kesulitan dan ketika waktu ngaji tiba PRnya tersebut belum dikerjakan dan dia merasa akan ditegur atau dimarahi gurunya. “Daripada dapat omel mending ga datang ngaji”, mungkin itu pikirannya. Subhanallah ya pikiran anak kecil itu, kadang kita yang sudah dewasa (aamiin) tidak bisa berpikir ke arah sana, berpikir apa yang anak-anak pikirkan. Kalau mau egois mementingkan pikiran kita sebagai orang dewasa, pastinya kita sudah memaksakan si anak untuk mengerjakan apa yang kita perintahkan mau tidak mau, karena kita tahu sebenarnya itu baik untuk dia. Namun apa hasilnya, ternyata tidak semua bisa diterima si anak, bahkan si anak jadi merasa terbebani dan enggan meneruskan kebiasaan baiknya (misal pergi ngaji ini). Atau mungkin ada yang salah dengan cara penyampaian di awal ketika kita memberinya tugas. Seharusnya ditekankan: kalau tidak selesai akan ibu bantu saat kelas mengaji iqro’. Dan cara penyampaian lain yang tidak membuat dia terbebani harusnya cara penyampaian yang membuat dia termotivasi dan akan senang mengerjakan tugasnya, misal akan ada reward atau pemberian hadiah kalau selesai PRnya atau dimotivasi dengan cara dibesarkan hatinya, dan cara-cara lainnya. Jadi harus lebih bijak lagi deh menjadi orang dewasa, apalagi kelak jadi orang tua anak sendiri (aamiin). Subhanallah belajar banyak deh dari Jeri.

Dan minggu depannya,, dengan memakai koko putih, Jeri sudah terlihat duduk diantara teman-temannya untuk mengaji sore ini. Senangnya... ^^ maafin Ru Rizka ya Jeri...